menu

Friday, August 4, 2017

Konsep Seks dan Gender

-->
Konsep Seks dan Gender
PENGERTIAN:
  1. SEKS adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (organ biologis dan fungsi biologis) seperti perempuan bercirikan vagina, sel telur (ovum), payudara, rahim, bisa hamil, melahirkan, sedangkan laki-laki bercirikan punya penis, sel telur (sperma), jakun, dan lain-lain. Seks dalam hal ini juga biasa disebut jenis kelamin biologis.
  2. GENDER adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat kebiasaan sosial dan bukan biologis. Contoh perbedaan ini adalah laki-laki biasanya mempunyai tubuh kekar, berperangai keras, lebih rasional, bekerja pada wilayah masyarakat luas, berperan sebagai pemimpin, sedangkan perempuan biasanya ditampilkan sebagai bertubuh langsing, berperangai lembut, emosional, bekerja pada wilayah rumah tangga, menurut, dan lain-lain. Gender biasa juga disebut sebagai kelamin social, artinya jenis kelamin kelelakian dan keperempuanan yang diciptakan atau dibentuk oleh masyarakat.
SIFAT-SIFAT SEKS:
  • bersifat biologis
  • Diperoleh dari Tuhan (kodrati)
  • Tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan
  • Berlaku di mana saja dan kapan saja (universal)
SIFAT-SIFAT GENDER:
  • Bersifat tidak biologis, tetapi bersifat fungsi dan peran social
  • Diperoleh dari pembiasaan atau pembelajaran masyarakat (adat kebiasaan)
  • Bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, artinya perempuan dan laki-laki bisa melakukannya
  • Berlaku tidak dimana saja dan kapan saja dalam arti tidak universal. Berlaku di tempat dan waktu tertentu.
Perbedaan itu kalau diidentifikasi sebagaimana berikut di bawah ini:
Seks
Gender
Bersifat Biologis (jenis kelamin dan fungsinya)
Bersifat tidak biologis tetapi punya punya fungsi dan peran sosial masing-masing
Diperoleh dari Tuhan sejak lahir

Dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki(artinya baik perempuan maupun laki-laki mempunyai potensi serta kemampuan yang sama)
Tidak dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki
Dapat dipertukarkan antara perempuan dan laki-laki (artinya baik perempuan dan laki-laki mempunyai potensi kemampuan yang sama)
Berlaku dimana saja, kapan saja di seluruh dunia (universal)
Berlaku di tempat dan waktu tertentu (relatif-kontesktual)

Gender tidak hanya meliputi pembedaan peran saja, namun juga meliputi pembedaan wilayah, status dan pensifatan.
  • Sebagai contoh pembedaan peran dalam hal pekerjaan, misalnya laki-laki diangap pekerja produktif sedang perempuan sebagai pekerja reproduktif. Kerja produktif adalah kerja yang dapat mengahsilkan uang. Sedang kerja reproduktif lebih pada mengurusi pekerjaan rumah tangga dan melahirkan anak., kerja reproduktif biasanya tidak menghasilkan uang.
  • Pembedaan wilayah kerja. Laki-laki berada di wilayah publik ( di luar rumah) sedang perempuan lebih berada di wilayah domestik (di dalam rumah / ruang pribadi)
  • Pembedaan status. Laki-laki berperan sebagai subyek, sebagai aktor utama, dan perempuan sebagai obyek atau pemain figuran (pelengkap). Laki-lai berperan sebagai encari nafkah uatama dan perempuan pencarai nafkah tambahan, laki-laki sebagai pemimpin, perempuan dipimpin.
  • Pembedaan sifat. Perempuan dilekati dengan sifat dan atribut feminin misalnya halus, sopan, kasih sayang, cengeng, penakut, emosional, cantik, memakai perhiasan dan ccocoknya berkain panjang atau rok. Sedang laki-laki itu dilekati dengan sifat maskulin misalnya, kuat, berani, keras, rasional, kasar, gagah, tegas, berotot, aktif dan karenayamemakai pakaian yang praktis seperti celana panjang / pendek dan berambut pendek.
Pada dasarnya pembedaan peran gender tidak menimbulkan permasalahan apabila didasarkan pada kesepakatan masing-masing. Namun kalau peran yang didasarkan pada sepihak itu cenderung menimbulkan ketidakadilan maka itulah yang menjadi permasalahan.
Wujud dari ketidakadilan itu antara lain: 1. Marginalisasi (peminggiran) 2. Subordinasi (penomorduaan) 3. Stereotype (pelabelan negatif) 4. Violence (kekerasan 5. Dobule Burdon (beban ganda)



Gender sebagai kenyataan / Fenomena sosial
I. Gender sebagai istilah
Istilah gender berasal dari bahasa asing, bahasa Indonesia tidak mengenal istilah gender.
Dalam bahasa aslinya (bahasa Inggris), gender biasa dikaitkan atau sering disamakan, dengan kata sex atau pembedaan atas jenis kelamin.
-Pembedaan atas dasar jenis kelamin dikenal dengan istilah sexual differenciation, sedangkan gender sebagai istilah berarti hasil atau akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin.

II. Gender sebagai fenomena sosial
-Pembedaan seksual adalah hal yang sangat alami, tidak mungkin diingkari. Tidak ada masyarakat yang tidak mengenal pembedaan sosial.
Dalam kenyataan , pembedaan seksual mempunyai implikasi-implikasi terhadap kehidupan manusia sehari-hari dan bagi sebagian warga masyarakat implikasi ini ternyata sangat merugikan.
-Gender sebagai kenyataan sosial bersifat kultural yang berbasis pada bahasa. Perbedaan biologis yang dilihat manusia kemudian disimpulkan dalam bahasa, dan dari sinilah dikotomi laki-laki dan perempuan menjadi oposisi biner yang menjadi dasar bagi sistem klasifikasi yang lebih rumit.
-Sebagai kenyataan sosial, jender bersifat relatif. Artinya akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin itu tidak selalu sama antara masyarakat satu dengan lainnya.
-jadi, jender sebagai fenomena sosial berarti akibat-akibat sosial yang muncul karena adanya pembedaan yang didasarkan oleh perbedaan jenis kelamin. Akibat akibat sosial ini bisa berupa pembagian kerja, sistem penggajian, proses sosialisasi dan lain sebagainya

Budaya Patriarki
Patriarkhi”, Awalnya istilah ini memiliki pengertian sempit yang mengacu pada sistem hukum Yunani dan Romawi, di mana kepala rumah tangga laki-laki memiliki kekuasaan mutlak atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang menjadi tanggungannya berikut budak laki-laki maupun perempuan. Namun kemudian patriarkhi digunakan secara umum untuk menggambarkan kekuasaan laki-laki atas perempuan tidak hanya di lingkup keluarga tapi juga lingkup kemasyarakatan. Konsep ini menyatakan bahwa lingkup dominasi laki-laki meliputi banyak hal, mulai dari pengambilan keputusan soal jumlah anak, persoalan masyarakat, pendidikan, industri, kesehatan, budaya, politik , militer hingga persoalan pemahaman agama. Meskipun hal ini tidak kemudian menghilangkan hak perempuan sama sekali, namun pada kenyataannya posisi permpuan seolah dianggap tidak mendapat tempat yang seimbang.
Bagaimana proses sehingga budaya ini muncul?
Arief Budiman dalam bukunya Pembagian Kerja secara seksual (1985) memberikan gambaran beberapa teori yang membahas apa yang menyebabkan laki-laki mendapat “privilege” atau keistimewaan dibandingkan perempuan.
Nature Theory
Eric Fromm sebagai salah satu tokohnya berpendapat bahwa kondisi itu diakibatkan dari adanya perbedaan psikologis yang signifikan antara laki-laki dan perempuan yang hal tersebut didasarkan pada perbedaan secara biologis. Lebih spesifik lagi ini adalah permasalahan fungsi seksual.
Laki-laki dengan penisnya dianggap sebagai simbol kekuatan sementara perempuan dengan vagina dianggap tidak menimbulkan apapun, Dalam sebuah hubungan seksual laki laki dianggap “sejati” jika bisa mempertahankan ketegakan alat kelaminnya. Menjadi sebuah masalah ketika laki-laki merasa tidak sanggup untuk melakukan hubungan seks, maka yang muncul kemudian adalah kekhawatiran bahwa ketidaksanggupannya itu akan diketahui , bahkan ditertawakan oleh pasangannya. Kondisi ini berbeda dengan perempuan yang tidak perlu membuktikan apapun, cukup ketika permpuan memiliki keinginan untuk itu dan perempuan memiliki kemampuan untuk menutupi ketidaksanggupannya untuk bersetubuh. Namun bukan berarti permpuan tidak mengalami kecemasan, karena mereka tidak tahu apakah dia bisa mengandalkan dirinya kepada laki-laki karena laki-laki tidak selalu mampu melakukannya. Sehingga muncul kecenderungan perempuan untuk membuat dirinya semenarik mungkin untuk memenuhi kebutuhan laki-laki dari situlah muncul gejala laki-laki ingin menguasai perempuan.

Teori Fungsionalis
Teori ini melihat bahwa pembagian kerja seksual itu dipelajari dari lingkungan. Lebih jauh lagi teori ini berpendapat bahwa pembagian kerja seksual merupakan kebutuhan masyarakat dan diciptakan untuk keuntungan seluruh masayarakat sebagai keseluruhan. Menurut teori ini wanita harus tinggal di lingkungan rumah tangga karena ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi keuntungan masyarakat secara keseluruhan.
Pada jaman dahulu wanita tidak diikutsertakan dalam perburuan apalagi peperangan karena area itu dianggap berbahaya dan perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengemban tugas itu, selain itu perempuan dianggap berharga saat itu untuk menjaga populasi. Dikaitkan dengan jaman sekarang ketika permpuan tetap saja di posisikan sebagai “penjaga gawang” hal itu dilihat Engels sebagai salah satu cara untuk membuat perempuan tergantung pada laki-laki karena dengan begitu merka diputuskan hubungannya dengan sumber kekuasaan, ekonomi dan politik.
Menurut Zaretsky (Budiman, 1985) dalam sistem masyarakat kapitalis, sektor masyarakat dikaitkan dengan sistem pasar yang penuh dengan persaingan, sementara sektor rumah tangga merupakan sektor pribadi yang tidak dicampuri oleh sistem pasar. Perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga meskipun melakukan pekerjaan yang berguna tetap saja dianggap tidak punya nilai jual, kalaupun ada maka harganya sangat murah karena pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan “demi cinta” sehingga bisa diasumsikan gratis.

DAMPAK BUDAYA PATRIARKHI
Tidak kita pungkiri budaya ini memunculkan berbagai permasalahan bagi kedua laki-laki dan perempuan. Namun dalam hal ini laki-laki seburuk apapun kondisinya masih mendapat keuntungan atau celah untuk dapat “bertahan hidup”. Berbeda dengan perempuan yang diposisikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sehingga tidak dipercaya mengembang tanggungjawab sehingga tidak memiliki daya tawar. Lebih parah lagi budaya ini sedemikian mengakar sehingga banyak mempengaruhi bagaimana dunia memandang perempuan, bahkan dalam hal pemahaman agama, pemaknaan ayat dan hadist sangat kental adanya kepentingan kelompok tertentu. Berikut ini beberapa gambaran lain dampak dari ketidak adilan akibat budaya ini.
  1. Subordinasi
Karena perempuan dianggap mahluk lemah, tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan berpikir maka perempuan ditempatkan sebagai pihak yang harus diarahkan, ditentukan arah hidupnya tanpa ada kesempatan bagi mereka untuk memilih dan memutuskan sendiri kehidupannya
  1. Marginalisasi
Perempuan dianggap bukan unsur penting sehingga tidak diberikan akses yang seimbang untuk ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi (kalaupun ada diposisikan sebagai tenaga bukan majikan) apalagi dalam pembuatan kebijakan. Hal ini menempatkan perempuan sebagai penerima kebijakan.
  1. Stereotyping
Kalau laki-laki itu kuat dan rasional maka perempuan itu lemah, emosional . kondisi itu seolah memberi gambaran bahwa permpuan tidak mungkin bekerja di bidang yang membutuhkan pemikiran mendalam. Permpuan cukup bekerja di sector rumah tangga, kalaupun di perusahaan adalah sebagai sekretaris ataupun pelayan.
  1. Kekerasan
Anggapan sebagai mahluk lemah membuat perempuan menjadi pihak paling rawan menjadi korban kekerasan, hal ini diperparah karena banyak permpuan yang meyakini hal itu sehingga ketika terjadi kekerasan perempuan memilih untuk pasrah dan menerima.
  1. Beban
Pembagian tugas bahwa perempuan harus lebih banyak bekerja di sektor rumah tangga, menyisakan persoalan karena tidak hanya berhenti pada melahirkan dan membesarkan anak tapi juga mengelola keuangan, bertanggung jawab atas perkembangan mental anak hingga menjaga kehormatan keluarga yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab laki-laki.

Gender dan Agama
Agama di satu sisi bisa menjadi instrumen pembebasan namun pada saat yang lain agama bisa menjadi instrumen penindasan. Agama bisa menjadi instrumen pembebasan manakala agama ditafsirkan dengan semangat keadilan, persaudaraan (perdamaian) dan kesetaraan. Pada saat yang sama agama juga bisa menjadi instrumen penindasan ketika agama ditafsirkan untuk menjustifikasi kenyataan sosial yang bias laki-laki dan mendiskriditkan perempuan. Ketika agama masuk dalam wilayah pemahaman dan penafsiran maka ia sangat terkait dengan penafsir dengan sudut pandang penafsiran yang digunakan. Budaya patriarkhi yang selama ini mengendap dalam benak penafsir cenderung menimbulkan penafsiran yang bias gender. Ketidakadilan gender yang selama ini menimpa kaum perempuan diakibatkan salah satunya oleh penafsiran agama yang bias laki-laki.
Salah satu contoh yang selama ini muncul misalnya; penciptaan Adam dan Hawa, konsep kepemimpinan rumah tangga, konsep kesaksian kewarisan perempuan dan lain sebagainya. Sudah semestinya pembacaan teks keagamaan harus diletakkan dalam lingkar hermeneutis yang selalu mengkaitkan antara teks, konteks dan realitas. Salah satu kerangka berfikir dalam memahami penafsiran teks keagamaan, sebagaimana berikut:
Sebenarnya masalah gender dan tafsir terhadap teks-teks keagamaan tidak perlu dipersoalkan selama tidak menimbulkan ketimpangan sosial kultural. Namun fakta menunjukkan bahwa masalah gender tidak berakibat sepadan kepada laki-laki dan perempuan. Kenyataan ketimpangan gender secara ideologis cenderung dicarikan justifikasinya melalui teks-teks keagamaan yang ditafsirkan secara bias laki-laki. Itulah yang menjadi keprihatinan. Berlangsungnya ketidakadilan gender yang diserap dalam penafsiran teks keagamaan tentu menjadi hal yang perlu dianalisis secara lebih mendalam. Dalam sudut pandang keagamaan, penafsiran terhadap teks keagamaan yang diskriminatif terhadap perempuan pada dasarnya berawal dari tiga buah asumsi dasar tentang keyakinan dalam beragama. Pertama, asumsi dogmatis yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai pelengkap. Kedua, dogma bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah. Ketiga, pandangan materialistik / ideologi masyarakat yang memandang rendah peran perempuan dalam proses produksi.
Dalam konteks membicarakan agama sebagai produk pemikiran maka menjadi penting untuk dilihat adalah bagaimana dialektika antara teks dan realitas serta sudut pandang penafsir dilihat secara kritis. Karena penafsiran teks keagmaan tidak lahir di ruang kosong. Ia merupakan proses dialektika yang kontinyu dengan problematika masyarakat yang melingkupi.
semestinya pemahaman, tradisi ataupun kultur keagamaan meski dilihat dalam kerangka semangat keadilan, persamaan, egaliterianisme, kemerdekaan kebebasan, persaudaraan serta musyawarah. Dengan demikian diharapkan agama berperan sebagai suprastruktur untuk melakukan transformasi perubahan ke dalam situasi dan kondisi yang lebih adil dan egaliter.

Gender sebagai persoalan sosial
I. Gender sebagai kesadaran sosial
-Gender sebagai kesadaran sosial adalah kesadaran (di kalangan masyarakat) bahwa hal-hal yang berasal atau diturunkan dari pembedaan seksual antara laki-laki dan perempuan adalah hal-hal yang bersifat sosio-kultural. Di sini orang mulai menyadari bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu yang alami (takdir) tetapi merupakan hasil dari sejarah adaptasi atau kontrak masyarakat dalam lingkungannya. Misalnya : pekerjaan menyusui dan menyopir.
II. Gender sebagai persoalan sosial budaya
  • munculnya kesadaran gender berimplikasi pada adanya kesadaran bahwa banyak hal yang dapat dan harus diubah agar hidup menjadi lebih baik, ebih adil.
  • Gender kemudian menjadi suatu persoalan sosial budaya dimulai dengan kesadaran bahwa dalam masyarakat ada ketidaksetaraan gender, bahwa jenuis kelamin tertentu dipandang lebih berharga, lebih baik daripada jenis kelamin lain. Dengan demikian gender baru dianggap sebagai persoalan budaya jika dalam suatu masyarakat telah terbangun suatu kesadaran tentang gender itu sendiri. Hanya dengan kesadaran ini, maka orang dapat melihat hal-hal yang terkait dengan pembedaan atas dasar jenis kelamin sebenarnya merupakan hal-hal yang tidak harus selalu diterima sebagai hal yang alami. Bahwa pembedaan ini seringkali membuat salah satu golongan warga masyarakat (bisa pria, bisa wanita) dirugikan.

III. Bentuk ketidaksetaraan gender
Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan menjadi masalah ketika menghasilkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, di mana mereka yang berjenis kelamin tertentu (umumnya laki-laki) memperoleh dan menikmati kedudukan yang lebih baik dari perempuan.

Referensi:
Budiman, Arief. 1985. Pembagian Kerja secara Seksual. Gramedia
Fakih, Mansour. 1996. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Irwan Abdullah, 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta, Tarawang Press,
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2004. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif agama (Islam, Katolik, Hindu, Budha, protestan), Jakarta: Tnp,
Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Pustaka Pelajar.
Ratna megawangi, 1999. Membiarkan berbeda? Sudut pandang baru tentang relasi gender, Bandung, Mizan,
Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999

No comments:

Post a Comment