menu

Wednesday, November 2, 2011

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN MULTIKULTURAL.

KARAKTERISTIK 
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
(Oleh : Minten Ayu Larassati)
Membahas karakteristik pendidikan multikultural akan lebih mudah terlebih dahulu membahas mengani karakteristik kultul di suatu kelompok msyarakat. Conrd P.Kottak (1989) menjelaskan bahwa kultur mempunyai karakteristik khusus. Karakter khusus ini dapat memberikan gambaran pada kita tantang apa sebenarnya makna kultir itu. Pertama, kultur adalah suatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap manusia didunia ini memiliki kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat mana kultur itu berbeda. Kedua, kultur adalah suatu yang dipelajari. Ketiga, kultur adalah suatu symbol. Dalam hal ini simbol dapat dibentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, ada juga yangberbentuk bahsa khusus yang hanya dapat diartikan secara khusus atau pula bahkan tidak dapat diartikan ataupun dijelaskan. Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan bersama-sama yang mejadi artibut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Keenam, kultur adalah sebuah model. Artinya, kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Ketujuh,  kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya, kultur merupakan sebuah populasi untuk membangun hunbungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.[1]
Dengan memahami karakteristik kultur masing-masing kelompok, karakteristik konsep kultur tersebut dapat digunakan sebagai proses belajar yang menuntut keterlibatan psikologis yang total dan intensif para pelakunya, maka dapat disebutkan bahwa pendidikan multikultural merupakan proses kulturalisasi tentang multikultural.[2] Salah satu upaya untuk bisa menghargai adanya perbedaaan kultur adalah dengan memberikan pendidikan multikultural, karena dalam pendidikan multikultural memberikan kesempatan yang sama dalam sekolah, prulalisme kultural, alternative gaya hidup, menghargai mereka yang berbeda dan mendukung keadilan kekuasaan di antara semua kelompok.[3]
Kesempatan yangeducation for mutual understanding yaitu pendidikan untuk meghargai diri dan meghargai orang lain,dan memperbaiki relasi antara orag-orang dari tradisi antara orang-orang dari tradisi kultural. Tujuan dari dari pendidikan ini tidaka lain adalah membuat siswa mampu menghargai dan menili diri sendiri dan orang lain; megapresiasi kesalig kaitan orang-orang dalam masyarakat; megetahui dan memahami apa yang menjadi milik bersama serta apa yang berbeda dari tradisi-tradisi kultural mereka; dan mengapresiasi bagaimana konflik dapat ditangani dengan cara-cara nir kekerasan.[4]
Untuk sapai pada kesimpulan apa itu pendidikan multikultural khususnya koteks Pendidikan Agama, Zakiyuddin Baidhawy (2005) menjelaskannya mealui karakteristik utama dari pendidikan multikultural yang terdiri tujuh komponen yaitu sebagai berikut;

a.         Belajar hidup dalam perbedaan
Dalam pendidikan nasioanal bersandar kedalam tiga pilar yaitu; how to know, how to do, how to be. Dalam ketiga pilar tersebut yang pertama menitikberatkan pada proses belajar-mengajar itu sendiri, yang kedua sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu, dengan kata lain pembelajaran tentang ketrampilan hidup (life skills) secara lebih luas. Disinilah siknifikasi hadirnya pilar yang selanjutnya untuk melengkapi ketiga pilar lainnya yaitu how to live and work together with others.[5]
 Untuk  menanamkan pilar keempat tersebut dijalin dalam  suatu jalinan komplementer, dalam pendidikan meliputi proses adala; pertama,  Pengembagan sikap toleransi,empati dan simpati yang merupakan prasarat esensial bagi keberhasila konsistensi dan proeksistensi dalam keragaman agama. Kedua, Klarifikasi nilai-nilai kehiupan bersama menurut persepektif agama-agama. Ketiga, Pendewasaan emosional. Kebrsamaan, kebebasan dan keterbukaan harus tumbuh bersama menuju pendewasaan emosional dalam relasi antar dan intra agama. Keempat, Kesetaraan dan partisipasi. Untuk menutupi jalan bagi supermasi atas nama agama perlu diletakkan dalam suatu relasi dan ketergantugan dan kerenanya bersifat setara. Kelima, Kontrak social baru dan aturan main keidupan bersama antaragma. Dalam hal ini pendidikan kiranya memberikan ketrampilan komunikasi (communication skills) pada siswa dalam membuat perjumpaan pandangan dan ekonsiliasi secara kreatif melalui berbagai sarana yang memungkinkan.[6]
Hasil dari lima proses tersebut adalah: tumbuh dan berkembagnya thinking skills (ketempilan berfikir) dalam memecahkan probem baru yang belum atau tidak pernah diterima di bangku sekolahan; kemampuan membangun relasi personal dan intrapersonal antar penganut dan interpenganut agama-agama, kapasitas megatasi isu-isu controversial yang muncul karena faktor sentiment dan atau pemicu keagamaan (religious triggering) secara kreatif, megembagkan empati,kesepahaman, kolaborasi antar agama yang dinergis dan dinamis.[7]
b.        Membagun saling percaya (Mutual Trust)
Rasa saling percaya adalah salah satu modal sosial (social capital) terpenting dalam penguatan kultural masyarakat madani.[8] Modal sosial dapat digunakan untuk menganalisis kondisi-kondisi yang membuat mengarah pada masyarakat madani menjadi mungkin, dimana sumber ini dapat memperkuat demokrasi meleluai organisasi sosial. Disamping saling percaya sumberlain dari dalam masyarakat sosial bisa berupa setatus, niat baik, kemerdekaan warga Negara, toleransi, pegehormatan terhadap peraturan hukum norma-norma, jarigan-jaringan yang dapat menigkatkan efeksiensi sosial. Modal ini dapat menjadi filterisasi bagi terbangunnya sikap rasioanal, tidak mudah curiga, bebas dari perasangka dan sterofit baik yang dikonstruksi secara sosial-kultural maupun secara politik. Pendidikan multikultural menggaris bawahi perlunya pencerahan melalui penenaman mutual trust antar agama dan antaretnik.[9]
Al Qur’an yang menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya ditunjukan pada ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain dalam Q.S. Al Hujurat ayat 12 sebagai berikut;
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al Hujurat :12)

c.         Memelihara saling pengertian (Mutual Understanding)
Saling memahami adalah kesadaran niali-nilai mereka dan kita sapat berbeda dan mungkin saling melegkapi serta saling berkontibusi dalam suasana dinamis dan hidup. Pendidikan agama memiliki tangung jawab membangun landasan etnis saling sepahaman antar entitas-entitas agama dan budaya yang plural, sebagai sikap dan keperdulian bersama.[10] Dalam Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 6 diterangkan bahwa kita tidak boleh mudah memvonis seseorang dan hendaknya mengedepankan klarifikasi sebagi berikut;
           Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S. Al Hujurat:6)

d.        Menjunjung sikap saling meghargai (Mutual Respect)
Sikap ini mendukung bahwa semua manusia dalam relasi kesetaraan, tidak ada superioritas maupun infioritas, meghormati dan meghargai sesama manusia. Pendidikan agama berwawasan multikultural menumbuh kembangkan kesadaran bahwa kedamaian adalah saling menghargai antar penganut agama, menghargai signifikasi dan martabat semua individu dan kelompok keagamaan yang beragam.[11] Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 256 menegaskan pada kita untuk menggunakan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama sebagai berikut;
Artinya: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.        (Q.S. Al Baqoroh:256)

e.         Terbuka dalam berfikir
Dalam berinteraksi terjadi perjumpaan dengan dunia lain, agama lain dan upaya yang beragam, kondisi seperti ini siswa mengarahkan siswa pada proses pendewasaan dan pememilikan sudut pandang dan banyak moitif cara untuk memahami realitas. Siswa menemukan diri dan kultur baru dengan pemikiran yang baru dan terbuka. Pendidikan multikultural membawa pikiran yang baru yang terbuka. Pendidikan agama berwawasan multikultural mengkondisikan siswa untuk berjumpa dengan pluralitas pandang dan perbedaan radikal. Hasilnya adalah kemauan untuk  pendalaman tentang makna diri, identitas kehidupan, agama dan keudayaan diri dendiri dan orang lain.[12] Penghargaan Al Qur’an terhadap mereka yang mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti representatif bahwa konsep ajaran Islam sangat responsif terhadap konsep berfikir secara terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan betapa tingginya derajat orang yang berilmu adalah Surat Mujadallah ayat 11 sebagi berikut;
Artinya; Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadallah:11)

f.         Apresiasi dan Interdependensi
Pendidikan agama perlu membagi keperdulian tentang apresiasi dan interdependensi umat manusia dari berbagai tradisi agama-agama untuk saling menolong atas dasar kecintaan dan ketulusan terhadap sesama manusia, untuk mengatasi ketidak berdayaan (powerlessness), ketidak pastian (contingency) dan kelangkaan (scarcity).[13] Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang care (peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis. Konsep seperti ini termaktub dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 2  yang menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong dalam kebajikan, memelihara solidaritas dan ikatan sosial (takwa), dengan menghindari tolong menolong dalam kejahatan, sebagai berikut; 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah:2)

g.        Resolusi konflik dan Rekonsiliasi Nirkekerasan
Dalam situasi konflik, pendidikan agama harus hadir untuk menyuntikan spirit dan kekuatan spiritual sebagai sarana integrasi dan kodisi sosial, menawarkan angin segar bagi perdamaian dan kedamaian. Dengan kata lain agama menfungsikan agama sebagai suatu cara resolusi konflik. Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik.[14] Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk (Q.S. asy-Syura:40), dan secara tegas al-Qur’an juga menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang yang termaktub dalam Al Quran Sural Ali Imron ayat 139 sebagai berikut:
Artinya; Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. Ali Imran:139).

Daripaparan tersebut tadi dapat ditarik kesimpulan bahawa: Pendidikan Agama yang berwawasan multikultural adalah gerakan pembaharu dan inovasi pendidikan agama dalam ragka menanamkan kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan agama-agama, terjalin dalam suatu relasi dan interdependensi dalam situasi saling mendegar dan menerima perbedaan dalam persepktif agama-agama dan memandang maslah dengan pikiran terbuka, untuk menemukan jalan baik mengatasi konflik antaragama dan menciptakan perdamaian melalui darana pegampunan dan tindakan nirkekerasan.[15]
Sonia Nieto, medefinisikan karekteristik pendidikan multikultural dalam konteks sosio-politik, ditujukan kepada masyarakat dan proses pendidikan, bahwa elastisitas dalam pendidikan sebagai bentuk tetap dan statis. Ada tujuh karakteristik yang disampaikan oleh neto, [16] yaitu,
1)                                    Antiracist education (Pendidikan yang tidak membenci ras dari orang lain), Pendidikan  antirasis membuat antidiskriminasi eksplisit dalam kurikulum dan mengajarkan siswa ketrampilan untuk memeragi rasisme dan bentuk lain dari penindasan.
2)                                    Basic education (Pendidikan kebutuhan dasar), hak dasar dari semua siswa untuk terlibat dalam inti dan akademisi seni adalah sebuah kebutuhan mendesak bagi semua siswa.
3)                                    Important for all students (Penting bagi semua siawa), dalam hal ini semua siswa berhak dan membutuhkan pendidikan yang inklusif dan ketat.
4)                                    Pervasive (Luas), pendidikan multikultural menekankan pedekatan yang menembus seluruh pengalaman pendidikan, termasuk iklim sekolah, lingkungan fisik, kurikulum, dan hubungan terhadap sesama.
5)                                    Ducation for social justice (Pendidikan untuk keadilan sosial), siswa diajak utuk melakukan tindakan sosial secara langsung dilingkungannya msing-masing.
6)                                    Education a process (Pendidikan adalah suatu proses), siswa dan institusi pendidikan dalam melakukan proses pendidikan melibatkan masyarakat dalam meningkatkan prestasi belajar, lingkungan belajar, preferensi belajar siswa dan variable budaya.
7)                                    Critical pedagogy (Berfikir kritis) dalam berfikir kritis siswa dipengaruhi  pada pengelama budaya, bahasa, keluarga, sekolah, artistic, dan pengalaman pendidikan. siswa dituntut untuk melakuka perubahan pemikiran dari kesadaran pasif, magis menuju kesadaran kritis melalui tindakannya.
Dari ketujuh karek teristik diatas pendidikan multikultural diarahkan untuk meghargai diri dan meghargai orang lain, memperbaiki relasi antara orang-orang dari tradisi tradisi kultural. Membuat siswa mampu menghargai dan menilai diri sendiri dan orang lain; megapresiasi kesalig kaitan orang-orang dalam masyarakat; megetahui dan memahami apa yang menjadi milik bersama serta apa yang berbeda dari tradisi-tradisi kultural mereka; dan mengapresiasi bagaimana konflik dapat ditangani dengan cara-cara yang mencerminkan kesalehan social



[1] M. Ainul Yaqin, 2005. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Nusa Aksara. Hal: 6-9
[2]  Sutjipto, 2005,. Kosep Pendidikan Formal Dengan Muatan Budaya Multikultural. dalam Jurnal Pendidikan Penabur No 04/Th. IV/Juli hal : 54-55
[3] Zakiyuddin Baidhawy.,2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.Jakarta: Erlangga
Hal 76
[4] Zakiyuddin Baidhawy. Op.Cit, Hal 77-78
[5] Ibid, hal. 78-79
[6] Ibid, hal 79-81
[7] Ibid
[8] Francis Fukuyama,”Social Capital” dalam Lawrence E.Harrion dan Samuel P. Hungtington, eds. Culture Matters; How Values Shape Human Progess. New York; basic book, 2000 hal 98-111
[9] Zakiyuddin Baidhawy. Op.Cit, Hal 78-91
[10] Ibid, 82-83
[11] Ibid, hal 83
[12] Ibid, hal 83-84
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid.  hal ,85
[16] Patty bode, Neto’s seven characteristic of multicultural education, dalam googel terjemah artikel, http://www.bbc.co.uk/go/rss/int/news/-/news/magazine-14291881