PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
(Oleh : Minten Ayu Larassati)
Membahas
karakteristik pendidikan multikultural akan lebih mudah terlebih dahulu membahas
mengani karakteristik kultul di suatu kelompok msyarakat. Conrd P.Kottak (1989)
menjelaskan bahwa kultur mempunyai karakteristik khusus. Karakter khusus ini
dapat memberikan gambaran pada kita tantang apa sebenarnya makna kultir itu. Pertama,
kultur adalah suatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya
setiap manusia didunia ini memiliki kultur, dan spesifik berarti setiap kultur
pada kelompok masyarakat mana kultur itu berbeda. Kedua, kultur adalah
suatu yang dipelajari. Ketiga, kultur adalah suatu symbol. Dalam hal ini
simbol dapat dibentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, ada juga
yangberbentuk bahsa khusus yang hanya dapat diartikan secara khusus atau pula
bahkan tidak dapat diartikan ataupun dijelaskan. Keempat, kultur dapat
membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Kelima, kultur adalah
sesuatu yang dilakukan bersama-sama yang mejadi artibut bagi individu sebagai
anggota dari kelompok masyarakat. Keenam, kultur adalah sebuah model.
Artinya, kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada
artinya sama sekali. Ketujuh, kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif.
Artinya, kultur merupakan sebuah populasi untuk membangun hunbungan yang baik
dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha
maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.[1]
Dengan
memahami karakteristik kultur masing-masing kelompok, karakteristik konsep
kultur tersebut dapat digunakan sebagai proses belajar yang menuntut
keterlibatan psikologis yang total dan intensif para pelakunya, maka dapat
disebutkan bahwa pendidikan multikultural merupakan proses kulturalisasi
tentang multikultural.[2]
Salah satu upaya untuk bisa menghargai adanya perbedaaan kultur adalah
dengan memberikan pendidikan multikultural, karena dalam pendidikan multikultural memberikan kesempatan yang sama dalam
sekolah, prulalisme kultural, alternative gaya hidup, menghargai mereka yang
berbeda dan mendukung keadilan kekuasaan di antara semua kelompok.[3]
Kesempatan
yangeducation for mutual understanding yaitu pendidikan untuk
meghargai diri dan meghargai orang lain,dan memperbaiki relasi antara
orag-orang dari tradisi antara orang-orang dari tradisi kultural. Tujuan
dari dari pendidikan ini tidaka lain adalah membuat siswa mampu menghargai dan
menili diri sendiri dan orang lain; megapresiasi kesalig kaitan orang-orang
dalam masyarakat; megetahui dan memahami apa yang menjadi milik bersama serta
apa yang berbeda dari tradisi-tradisi kultural mereka; dan mengapresiasi
bagaimana konflik dapat ditangani dengan cara-cara nir kekerasan.[4]
Untuk
sapai pada kesimpulan apa itu pendidikan multikultural khususnya koteks
Pendidikan Agama, Zakiyuddin Baidhawy (2005) menjelaskannya mealui
karakteristik utama dari pendidikan multikultural yang terdiri tujuh komponen yaitu
sebagai berikut;
a.
Belajar hidup dalam perbedaan
Dalam pendidikan
nasioanal bersandar kedalam tiga pilar yaitu; how to know, how to do, how to
be. Dalam ketiga pilar tersebut yang pertama menitikberatkan pada proses
belajar-mengajar itu sendiri, yang kedua sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu, dengan kata lain pembelajaran
tentang ketrampilan hidup (life skills) secara lebih luas. Disinilah
siknifikasi hadirnya pilar yang selanjutnya untuk melengkapi ketiga pilar
lainnya yaitu how to live and work together with others.[5]
Untuk menanamkan
pilar keempat tersebut dijalin dalam suatu
jalinan komplementer, dalam pendidikan meliputi proses adala; pertama, Pengembagan sikap toleransi,empati dan simpati
yang merupakan prasarat esensial bagi keberhasila konsistensi dan proeksistensi
dalam keragaman agama. Kedua, Klarifikasi nilai-nilai kehiupan bersama
menurut persepektif agama-agama. Ketiga, Pendewasaan emosional.
Kebrsamaan, kebebasan dan keterbukaan harus tumbuh bersama menuju pendewasaan
emosional dalam relasi antar dan intra agama. Keempat, Kesetaraan dan
partisipasi. Untuk menutupi jalan bagi supermasi atas nama agama perlu
diletakkan dalam suatu relasi dan ketergantugan dan kerenanya bersifat setara. Kelima,
Kontrak social baru dan aturan main keidupan bersama antaragma. Dalam hal
ini pendidikan kiranya memberikan ketrampilan komunikasi (communication
skills) pada siswa dalam membuat perjumpaan pandangan dan ekonsiliasi
secara kreatif melalui berbagai sarana yang memungkinkan.[6]
Hasil dari lima
proses tersebut adalah: tumbuh dan berkembagnya thinking skills (ketempilan
berfikir) dalam memecahkan probem baru yang belum atau tidak pernah diterima di
bangku sekolahan; kemampuan membangun relasi personal dan intrapersonal antar
penganut dan interpenganut agama-agama, kapasitas megatasi isu-isu
controversial yang muncul karena faktor sentiment dan atau pemicu keagamaan (religious
triggering) secara kreatif, megembagkan empati,kesepahaman, kolaborasi
antar agama yang dinergis dan dinamis.[7]
b.
Membagun saling percaya (Mutual Trust)
Rasa saling percaya
adalah salah satu modal sosial (social capital) terpenting dalam penguatan
kultural masyarakat madani.[8] Modal sosial dapat
digunakan untuk menganalisis kondisi-kondisi yang membuat mengarah pada
masyarakat madani menjadi mungkin, dimana sumber ini dapat memperkuat demokrasi
meleluai organisasi sosial. Disamping saling percaya sumberlain dari dalam
masyarakat sosial bisa berupa setatus, niat baik, kemerdekaan warga Negara, toleransi,
pegehormatan terhadap peraturan hukum norma-norma, jarigan-jaringan yang dapat
menigkatkan efeksiensi sosial. Modal ini dapat menjadi filterisasi bagi
terbangunnya sikap rasioanal, tidak mudah curiga, bebas dari perasangka dan
sterofit baik yang dikonstruksi secara sosial-kultural maupun secara politik.
Pendidikan multikultural menggaris bawahi perlunya pencerahan melalui penenaman
mutual trust antar agama dan antaretnik.[9]
Al Qur’an yang menekankan akan pentingnya saling
percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya ditunjukan pada ayat
yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan orang
lain dalam Q.S. Al Hujurat ayat 12 sebagai berikut;
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al Hujurat :12)
c.
Memelihara saling pengertian (Mutual
Understanding)
Saling memahami adalah kesadaran niali-nilai mereka dan kita sapat
berbeda dan mungkin saling melegkapi serta saling berkontibusi dalam suasana
dinamis dan hidup. Pendidikan agama memiliki tangung jawab membangun landasan
etnis saling sepahaman antar entitas-entitas agama dan budaya yang plural,
sebagai sikap dan keperdulian bersama.[10] Dalam
Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 6 diterangkan bahwa kita tidak boleh mudah
memvonis seseorang dan hendaknya mengedepankan klarifikasi sebagi berikut;
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu. (Q.S. Al Hujurat:6)
d.
Menjunjung sikap saling meghargai (Mutual Respect)
Sikap ini mendukung
bahwa semua manusia dalam relasi kesetaraan, tidak ada superioritas maupun
infioritas, meghormati dan meghargai sesama manusia. Pendidikan agama berwawasan
multikultural menumbuh kembangkan kesadaran bahwa kedamaian adalah saling menghargai
antar penganut agama, menghargai signifikasi dan martabat semua individu dan kelompok
keagamaan yang beragam.[11] Al Qur’an surat Al
Baqarah ayat 256 menegaskan pada kita untuk menggunakan prinsip tidak ada
paksaan dalam beragama sebagai berikut;
Artinya: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S. Al Baqoroh:256)
e.
Terbuka dalam berfikir
Dalam berinteraksi
terjadi perjumpaan dengan dunia lain, agama lain dan upaya yang beragam,
kondisi seperti ini siswa mengarahkan siswa pada proses pendewasaan dan
pememilikan sudut pandang dan banyak moitif cara untuk memahami realitas. Siswa
menemukan diri dan kultur baru dengan pemikiran yang baru dan terbuka.
Pendidikan multikultural membawa pikiran yang baru yang terbuka. Pendidikan
agama berwawasan multikultural mengkondisikan siswa untuk berjumpa dengan
pluralitas pandang dan perbedaan radikal. Hasilnya adalah kemauan untuk pendalaman tentang makna diri, identitas
kehidupan, agama dan keudayaan diri dendiri dan orang lain.[12] Penghargaan
Al Qur’an terhadap mereka yang mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti
representatif bahwa konsep ajaran Islam sangat responsif terhadap konsep
berfikir secara terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan betapa tingginya
derajat orang yang berilmu adalah Surat Mujadallah ayat 11 sebagi berikut;
Artinya; Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadallah:11)
f.
Apresiasi dan Interdependensi
Pendidikan agama perlu
membagi keperdulian tentang apresiasi dan interdependensi umat manusia dari
berbagai tradisi agama-agama untuk saling menolong atas dasar kecintaan dan
ketulusan terhadap sesama manusia, untuk mengatasi ketidak berdayaan (powerlessness),
ketidak pastian (contingency) dan kelangkaan (scarcity).[13] Karakteristik
ini mengedepankan tatanan sosial yang care (peduli), dimana semua anggota
masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi,
keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimanapun
juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis. Konsep
seperti ini termaktub dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 2 yang menerangkan betapa pentingnya prinsip
tolong menolong dalam kebajikan, memelihara solidaritas dan ikatan sosial
(takwa), dengan menghindari tolong menolong dalam kejahatan, sebagai
berikut;
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah,
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan
keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka
bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah:2)
g.
Resolusi konflik dan Rekonsiliasi Nirkekerasan
Dalam situasi
konflik, pendidikan agama harus hadir untuk menyuntikan spirit dan kekuatan
spiritual sebagai sarana integrasi dan kodisi sosial, menawarkan angin segar
bagi perdamaian dan kedamaian. Dengan kata lain agama menfungsikan agama
sebagai suatu cara resolusi konflik. Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan
pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik.
Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian
melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun atau
maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik.[14]
Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta
damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk (Q.S. asy-Syura:40), dan secara tegas
al-Qur’an juga menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan
damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang yang
termaktub dalam Al Quran Sural Ali Imron ayat 139 sebagai berikut:
Artinya;
Janganlah
kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah
orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
(Q.S. Ali Imran:139).
Daripaparan tersebut
tadi dapat ditarik kesimpulan bahawa: Pendidikan Agama yang berwawasan multikultural adalah gerakan pembaharu dan inovasi
pendidikan agama dalam ragka menanamkan kesadaran akan pentingnya hidup bersama
dalam keragaman dan perbedaan agama-agama, terjalin dalam suatu relasi dan interdependensi
dalam situasi saling mendegar dan menerima perbedaan dalam persepktif
agama-agama dan memandang maslah dengan pikiran terbuka, untuk menemukan jalan
baik mengatasi konflik antaragama dan menciptakan perdamaian melalui darana
pegampunan dan tindakan nirkekerasan.[15]
Sonia Nieto, medefinisikan
karekteristik pendidikan multikultural dalam konteks sosio-politik, ditujukan
kepada masyarakat dan proses pendidikan, bahwa elastisitas dalam pendidikan sebagai
bentuk tetap dan statis. Ada tujuh karakteristik yang disampaikan oleh neto, [16] yaitu,
1)
Antiracist education (Pendidikan yang tidak membenci ras dari
orang lain), Pendidikan antirasis
membuat antidiskriminasi eksplisit dalam kurikulum dan mengajarkan siswa
ketrampilan untuk memeragi rasisme dan bentuk lain dari penindasan.
2)
Basic education (Pendidikan kebutuhan dasar), hak dasar dari semua
siswa untuk terlibat dalam inti dan akademisi seni adalah sebuah kebutuhan
mendesak bagi semua siswa.
3)
Important for all students (Penting bagi semua siawa), dalam
hal ini semua siswa berhak dan membutuhkan pendidikan yang inklusif dan ketat.
4)
Pervasive (Luas), pendidikan multikultural menekankan
pedekatan yang menembus seluruh pengalaman pendidikan, termasuk iklim sekolah,
lingkungan fisik, kurikulum, dan hubungan terhadap sesama.
5)
Ducation for social justice (Pendidikan untuk keadilan sosial), siswa
diajak utuk melakukan tindakan sosial secara langsung dilingkungannya
msing-masing.
6)
Education a process (Pendidikan adalah suatu proses), siswa
dan institusi pendidikan dalam melakukan proses pendidikan melibatkan masyarakat
dalam meningkatkan prestasi belajar, lingkungan belajar, preferensi belajar
siswa dan variable budaya.
7)
Critical pedagogy (Berfikir kritis) dalam berfikir kritis siswa dipengaruhi
pada pengelama budaya, bahasa, keluarga,
sekolah, artistic, dan pengalaman pendidikan. siswa dituntut untuk melakuka
perubahan pemikiran dari kesadaran pasif, magis menuju kesadaran kritis melalui
tindakannya.
Dari ketujuh karek
teristik diatas pendidikan multikultural diarahkan untuk meghargai diri dan
meghargai orang lain, memperbaiki relasi antara orang-orang dari tradisi
tradisi kultural. Membuat siswa mampu menghargai dan menilai diri
sendiri dan orang lain; megapresiasi kesalig kaitan orang-orang dalam
masyarakat; megetahui dan memahami apa yang menjadi milik bersama serta apa
yang berbeda dari tradisi-tradisi kultural mereka; dan mengapresiasi bagaimana
konflik dapat ditangani dengan cara-cara yang mencerminkan kesalehan social
[1] M.
Ainul Yaqin, 2005. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding
Untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Nusa Aksara. Hal: 6-9
[2] Sutjipto, 2005,. Kosep Pendidikan Formal
Dengan Muatan Budaya Multikultural. dalam Jurnal Pendidikan Penabur No
04/Th. IV/Juli hal : 54-55
[3]
Zakiyuddin Baidhawy.,2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.Jakarta:
Erlangga
Hal 76
[4]
Zakiyuddin Baidhawy. Op.Cit, Hal 77-78
[5] Ibid,
hal. 78-79
[6] Ibid,
hal 79-81
[7] Ibid
[8] Francis
Fukuyama,”Social Capital” dalam Lawrence E.Harrion dan Samuel P. Hungtington,
eds. Culture Matters; How Values Shape Human Progess. New York; basic book,
2000 hal 98-111
[9]
Zakiyuddin Baidhawy. Op.Cit, Hal 78-91
[10] Ibid,
82-83
[11] Ibid,
hal 83
[12] Ibid,
hal 83-84
[13] Ibid
[14] Ibid
[15]
Ibid. hal ,85
[16]
Patty bode, Neto’s seven characteristic of multicultural education, dalam
googel terjemah artikel, http://www.bbc.co.uk/go/rss/int/news/-/news/magazine-14291881