SEJARAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
(Oleh : Minten Ayu Larassati S.Pd.I,M.Pd.I)
Pendidikan multikultural lahir sejak
30 silam, yaitu sesudah perang dunia II dengan lahirnya banyak negara dan
perkembagannya prinsip-psinsip demokrasi.[1]
Pandangan multikultualisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktek
kenegaraan belum dijalani sebagai mana mestinya. Lambang Bineka Tunggal Ika,
yang memiliki makna keragamaan dalam kesatua ternyata yang ditekankan hanyalah
kesataunnya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada
masa orde baru menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan
tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukan identitasnya sebagai
masyarakat bhineka yang salama orde baru telah ditindas dengan berbagai cara
demi untuk mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak
kemerdekaan sampai era-orde baru telah mengabaikan kekayaan kebinekaan
kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan
demokrasi.[2]
Sejak jatuhya presiden Suharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti
dengan masa yang disebut era reformasi, kemudian Indonesia cenderung mengalami
disintregasi.[3],
krisis moneter, ekonomi, politik dan agama mengakibatkan terjadinya krisis
kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada waktu itu pendidikan
dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli
sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dalam kata lain pendidikan
multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat
beranekaragam.[4]
Orde reformasi yang sekarang, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan
kembali wacana pendidikan multikultural sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia.
Dalam era-reformasi ini, tentunya banya banyak hal yang perlu ditinjau kembali.
Salah satunya mengenai kurikulum disekolahan kita dari semua tingkat dan jenis,
apakah telah merupakan sarana untuk mengembangkan multikltural. Selain masalah
kurikulum juga mengenai otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah
agar pendidikan merupakan tempat bagi perkembagan kebinekaan kebudayaan
Indonesia.[5]
Pendidikan multikultural untuk
Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia belum mempunyai
pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah baru yang oleh sebab itu,
diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk
yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia.
Bentuk-bentuk dan sisten yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan
pemikiran akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang pluralis,
tetapi juga meminta kerja keras untuk melaksanakannya.[6]
Gagasan multikultural bukanlah suatu
konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui
pendidikan. Selain itu, multikultural tidak berhenti pada pengakuan akan
identitas yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan
kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam.[7]
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman agama, etnik, dan budaya
masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
(Religious, linguistic, and national minoritas, as well as
indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and
against their will, to the interest of the state and the dominant society.
While many people... had to discard their own cultures, languages, religions
and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated
and reproduced through national institutions, including the educational and
legal system.[8]
(Agama, bahasa, dan kaum minoritas, seperti pribumi dan suku bangsa
yang biasanya memiliki derajat lebih rendah atau tidak punya kekuasaan karena
minor, kadang-kadang dengan penuh semangat dan melawan keinginan mereka, demi
keinginan Negara dan masyarakat pada umumnya. ketika banyak orang….harus
mengesampingkan budaya mereka, bahasa mereka, agama dan tradisi mereka, dan
haus menyesuaikan diri dengan aturan yang asing atau baru dan adat yang
digabungkan dan dihasilkan oleh institusi Negara, termasuk didalamnya adalah
pendidikan dan sistem yang legal)
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep
demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukanlah suatu hal baru lagi.
Mereka telah melaksanakannya terkhusus dalam upaya melenyapkan diskriminasi
rasial antara orang kulit kulit dan kulit hitam dan bertujuan memajukan serta
memelihara integritas nasional.[9]
[1]
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan
Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 1999), hlm. 16
[2] Ibid.,
hal 166
[3]
Disintegrasi adalah masa kehancuran; pembubaran; pemisahan kekuasaa; kehancuran
jiwa (karena dorongan nafsu yang menguasai jiwa) (Kamus Iliyah Populer Pus A
Partanto dan M Dahlan Al Barry). Pada masa ini terjadi pada tahun 1998 dimana
banyak dilakukan aksi demonstrasi dalam ragka mengulingkan kekuasaan suharto
[4] Ruslan
Ibrahim (2008). Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam
Era Pluralitas Agma. Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi. No. 1. Vol 1. Hal 116
[5]
H.A.R Tilaar, loc.cit.
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Muhaemin
El-Ma’hady dalam http://www.
re-searchengines.com/ Diunduh pada
hari sabtu, 14 April 2011.
[9] Ibid, Kini Barac Obama
sebagai presiden Amerika Serikat menjadi bukti bahwa kulit hitam memiliki hak
yang sama dalam berpolitik dinegaranya.
No comments:
Post a Comment