menu

Tuesday, November 1, 2011

SEJARAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

-->
SEJARAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
(Oleh : Minten Ayu Larassati S.Pd.I,M.Pd.I)

Pendidikan multikultural  lahir sejak 30 silam, yaitu sesudah perang dunia II dengan lahirnya banyak negara dan perkembagannya prinsip-psinsip demokrasi.[1]
Pandangan multikultualisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktek kenegaraan belum dijalani sebagai mana mestinya. Lambang Bineka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam kesatua ternyata yang ditekankan hanyalah kesataunnya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada masa orde baru menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukan identitasnya sebagai masyarakat bhineka yang salama orde baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era-orde baru telah mengabaikan kekayaan kebinekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi.[2]
Sejak jatuhya presiden Suharto dari kekuasaannya, yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut era reformasi, kemudian Indonesia cenderung mengalami disintregasi.[3], krisis moneter, ekonomi, politik dan agama mengakibatkan terjadinya krisis kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Pada waktu itu pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dalam kata lain pendidikan multikultural belum dianggap penting walaupun realitas kultur dan agama sangat beranekaragam.[4]
Orde reformasi yang sekarang, membawa angin demokrasi sehingga menghidupkan kembali wacana pendidikan multikultural sebagai kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era-reformasi ini, tentunya banya banyak hal yang perlu ditinjau kembali. Salah satunya mengenai kurikulum disekolahan kita dari semua tingkat dan jenis, apakah telah merupakan sarana untuk mengembangkan multikltural. Selain masalah kurikulum juga mengenai otonomisasi pendidikan yang diberikan kepada daerah agar pendidikan merupakan tempat bagi perkembagan kebinekaan kebudayaan Indonesia.[5]
Pendidikan multikultural untuk Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, Indonesia belum mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Apalagi otonomi daerah baru yang oleh sebab itu, diperlukan waktu dan persiapan yang cukup lama untuk memperoleh suatu bentuk yang pas dan pendekatan yang cocok untuk pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk-bentuk dan sisten yang cocok bagi Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang pluralis, tetapi juga meminta kerja keras untuk melaksanakannya.[6]
Gagasan multikultural bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola tingkah laku  yang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu, multikultural tidak berhenti pada pengakuan akan identitas yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam.[7]
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman agama, etnik, dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:

(Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.[8]

(Agama, bahasa, dan kaum minoritas, seperti pribumi dan suku bangsa yang biasanya memiliki derajat lebih rendah atau tidak punya kekuasaan karena minor, kadang-kadang dengan penuh semangat dan melawan keinginan mereka, demi keinginan Negara dan masyarakat pada umumnya. ketika banyak orang….harus mengesampingkan budaya mereka, bahasa mereka, agama dan tradisi mereka, dan haus menyesuaikan diri dengan aturan yang asing atau baru dan adat yang digabungkan dan dihasilkan oleh institusi Negara, termasuk didalamnya adalah pendidikan dan sistem yang legal)

Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukanlah suatu hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya terkhusus dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit kulit dan kulit hitam dan bertujuan memajukan serta memelihara integritas nasional.[9]



[1] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation, 1999), hlm. 16
[2] Ibid., hal 166
[3] Disintegrasi adalah masa kehancuran; pembubaran; pemisahan kekuasaa; kehancuran jiwa (karena dorongan nafsu yang menguasai jiwa) (Kamus Iliyah Populer Pus A Partanto dan M Dahlan Al Barry). Pada masa ini terjadi pada tahun 1998 dimana banyak dilakukan aksi demonstrasi dalam ragka mengulingkan kekuasaan suharto
[4] Ruslan Ibrahim (2008). Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agma. Jurnal Pendidikan Islam  El-Tarbawi. No. 1. Vol 1. Hal 116
[5] H.A.R Tilaar, loc.cit.                                                
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Muhaemin El-Ma’hady dalam  http://www. re-searchengines.com/ Diunduh  pada hari sabtu, 14  April 2011.
[9] Ibid, Kini  Barac Obama sebagai presiden Amerika Serikat menjadi bukti bahwa kulit hitam memiliki hak yang sama dalam berpolitik dinegaranya.

No comments:

Post a Comment